Pehatiannya pada urusan ketahanan pangan membawa Presiden Joko Widodo mengunjungi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) di Sukamandi, Subang, pada Selasa, 12 Juli 2022. Dikawal oleh Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Presiden Jokowi rupanya bermaksud mengecek ketersediaan benih, baik jenis maupun jumlahnya, untuk mendukung produksi padi.
‘’Benih itu sangat penting dalam rangka meningkatkan produksi padi per hektarenya,” kata Presiden Jokowi. Kepala Pemerintahan RI itu pun menyatakan kegembiraannya bahwa banyak pilihan benih padi unggul yang mudah diakses oleh petani.
‘’Kalau yang di sini (daerah Subang), petani lebih suka varietas Inpari 42 dan Inpari 32. Potensinya 12 ton per hektare, tapi kalau bisa 7–8 ton sudah sangat baik,’’ Presiden Jokowi menambahkan.
Inpari 42 dan Inpari 32 bahkan bukan hanya digandrungi petani padi di sekitar Subang, Purwakarta, dan Karawang. Dua varietas hibrida ini juga populer di Indramayu, Cirebon, dan daerah sentra padi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, serta beberapa daerah di Pulau Sumatra.
Kelompok Tani Padang Harapan di Desa Tanjung Terdana, Kecamatan Pondok Kubang, Kabupaten Bengkulu Tengah, itu termasuk penggemar berat Inpari 42. Mereka membudidayakannya sejak dua tahun lalu di atas 10 hektare sawah milik anggota kelompok tani (poktan). Hasilnya, rata-rata 7,1 ton per hektare. Genjah pula. Padi ini hanya perlu 21 hari di persemaian, ditambah 90–95 hari di petakan sawah. Sejak itulah Poktan Padang Harapan percaya pada Inpari 42, dan enggan melirik varietas lain.
Di Desa Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Banten, Poktan Mekar Bakti memilih varietas Inpari 32 untuk tanaman pokok di sawahnya. Dalam uji coba budi daya Inpari 32 yang diawasi tenaga ahli dari Puslitbang Tanaman Pangan Kementan awal 2021, hasil panennya 9,5 ton per hektare, dan susut menjadi 8 ton saat tak ada pendampingan. Produktivitasnya sedikit lebih rendah dari Inpari 42.
Namun, Poktan Mekan Bakti memilih Inpari 32. Alasannya, umurnya lebih pendek: hanya sekitar 21 di persemaian dan 85 hari di petakan sawah. Keunggulan lainnya, Inpari 32 juga dianggap lebih tahan pada penyakit kresek alias hawar daun bakteri (HDB), yang sering mengakibatkan daun padi muda layu dan mati. Penyakit HDB ini endemik Desa Panimbang.
Tradisi pengadaan benih padi di Indonesia sudah berjalan cukup panjang, ditandai oleh banyaknya ragam varietas lokal. Baru sejak 1960-an pemerintah lewat Badan Litbang Pertanian dari Kementan gencar mengintroduksi dan memproduksi benih baru dengan katagori varietas unggul. Sifat unggul ini, antara lain, dicirikan oleh produksinya yang lebih tinggi, lebih tahan terhadap hama dan penyakit, serta genjah atau berumur pendek.
Varietas unggul ini juga bersifat responsif terhadap pemupukan, dalam padi itu akan tumbuh lebih baik dan berproduksi jauh lebih tinggi jika diberikan pupuk kimia dalam dosis sesuai. Sifat unggul yang lain ialah kemampuan adaptasinya pada lingkungan setempat. Ada varietas unggul untuk padi sawah beririgasi, ada yang cocok untuk padi rawan dengan lumpur yang mengandung zat besi yang tinggi, ada pula yang bisa bertahan dalam lahan sawah tadah hujan.
Saat ini tersedia stok lebih dari 100 macam benih padi di lapangan. Betapa tidak. Setiap tahunnya BB Padi Sukamandi itu bisa merilis belasan varietas padi baru dengan berbagai spesifikasinya. Pada tahun 2020, misalnya, BB Padi Sukamandi merilis lima varietas baru (karena pandemi), namun di tahun sebelumnya dirilis 13 varietas unggul baru. Varietas Inpari 42 sendiri dirilis tahun 2016 dan Inpari 32 muncul 2013. Keduanya cocok untuk padi sawah dengan air irigasi yang stabil.
Keseluruhan varietas itu lahir melalui proses breeding (pemuliaan), yang intinya adalah pengayaan bakat genetiknya. Ada yang disebut benih hibrida, yang pengkayaan genetiknya melalui kawin silang. Hasil silangannya adalah bibit unggul. Tapi, keturunannya, baik generasi pertama (F1) atau generasi berikutnya, tidak bisa dijadikan benih.
Namun sebagai benih F1, dapat tumbuh menjadi individu tanaman dengan tampilan fisik yang prima. Punya anakan banyak, malainya lebih banyak, produksi bulirnya tinggi, tahan hama penyakit, lebih pulen dan batangnya lebih kuat menghadapi tiupan angin. Untuk menjamin hasil hibrida yang lebih baik, riwayat tetuanya harus bagus. Namun, yang terpenting, varietas hibrida yang dilepas BB Padi Sukamandi itu telah teruji.
Pengembangan yang lebih baru dari hibrida ialah metode inbrida. Di sini yang dipadukan ialah tiga tiga galur padi unggul yang berkerabat sangat dekat. Galur pertama dihilangkan bunga jantannya, galur kedua dibuang putik atau bunga betinanya. Yang ketiga berperan sebagai pemulih kesuburan atau restorer. Hasil akhirnya adalah benih inbreed yang dari BB Padi Sukamandi diberi nama Inpari, Inpogo atau Inpara.
Yang lebih stabil kondisi genetiknya adalah hasil pemuliaan dengan metode seleksi massa. Individu tanaman hasil silangan pertama (F1) diseleksi. Yang punya sifat-sifat unggul dikumpulkan, ditanam lagi dengan pola penyerbukan terbuka. Ditanam lagi, diseleksi lagi, begitu seterusnya sampai 7–10 generasi. Hasil akhirnya adalah kumpulan rumpun padi yang seragam dan membawa sifat-sifat yang unggul. Dia adalah varietas baru dengan kondisi genetik yang lebih stabil, dan mendekati sifat galur murni.
Metode Breeding ini yang dilakukan sejak awal 1960-an hingga awal 2000-an. Varietas unggul PB-36 sangat populer pada 1970-an dan tergolong generasi pertama varietas unggul. Kehadirannya menjadi lokomotif peningkatan produksi beras saat itu. Namun, yang paling legendaris adalah IR-64 yang dirilis 1986. Pada puncak kejayaannya, IR 64 ini pernah mendominasi dengan okupansi sampai 60 persen dari sawah nasional.
Pada era 1980 hingga di akhir 1990-an, varietas unggul hasil pemuliaan (seleksi massa) dirilis dengan nama-nama sungai. Ada varietas unggul Cisadane (1980), Cimandiri (1981), Cipunegara (1982), dan beberapa lainnya. Yang cukup terkenal adalah Cisadane. Namun, porsi Cisadane paling tinggi ialah 8 persen di akhir 1980-an. Ia kalah populer dari IR 64.
Dari generasi sungai itu, yang kini masih bertahan ialah varietas Ciherang. Ia dirilis tahun 2000 dan masih bisa ditemui di sawah-sawah pantai utara Jawa Barat bersama IR 64. Kedua varietas ini dapat bersaing dengan varietas terbaru yang umumnya adalah hibrida, karena dua alasan. Pertama, tahan hama dan penyakit. Kedua, mereka genjah. Hanya perlu 90–95 hari di sawah, di luar yang 21 hari di petak persemaian.
Namun, dari segi produktivitas, IR 64 dan Ciherang kalah dari varietas hibrida atau inbrida unggulan itu. Banyak dari varietas hibrida dan inbrida itu yang memiliki malai panjang dan jumlah bulir yang lebih banyak. Harga benihnya yang mencapai Rp60 ribu per kg, tiga kali lipat harga benih varietas lama, dianggap sepadan dengan produksinya yang bisa 2 ton lebih besar per hektarenya.
Dari sekian banyak varietas hibrida ini, ada yang keunggulannya dari rasa yang sangat pulen seperti varietas Inpari 6, Tarabas, atau Inpago 5. Ada yang umurnya tergolong sangat genjah, seperti Inpari 32. Inpari sendiri ialah akronim dari inbrida padi irigasi. Sedangkan Inpago adalah kependekan dari inbrida pagi gogo untuk tanah kering dan Inpara adalah inbrida padi rawan.
Pada kelompok Inpari sendiri ada puluhan jumlahnya. Meski yang naik daun adalah Inpari 42 dan Inpari 32. Untuk keluarga Inpago ada pilihan Inpago 1 sampai 9. Untuk Inpara ada varietas Inpara 3, 4, 5, 29, dan 30, untuk tanah rawa yang selalu basah. Untuk rawa yang fluktuasi airnya tinggi dan kadang kering ada Inpara 10, 18, 19, atau Inpago 6, 7, atau 8.
Pilihan benih banyak. Namun, petani harus hati-hati dan cermat memilih benih, agar cocok dengan lingkungan fisik dan lingkungan biotik sawahnya.