Optimalisasi Lahan Rawa untuk Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi Lahan Rawa untuk Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi pemanfaatan lahan rawa menjadi salah satu harapan dan andalan dalam peningkatan produksi pangan nasional. Hal ini disampaikan Puji Lestari, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN Rabu (30/11) pada Webinar Sharing Session #8 Lahan Rawa untuk Ketahanan Pangan secara daring. 

Dia menyebutkan kebutuhan pangan Indonesia, saat ini semakin meningkat akibat pertambahan populasi, peningkatan kesejahteraan penduduk dan perkembangan industri pangan. Namun, di sisi lain terjadi penyusutan luas lahan pertanian pangan produktif akibat alih fungsi, degradasi kesuburan lahan dan munculnya fenomena perubahan iklim seperti El-nino dan La-nina dengan frekuensi yang lebih sering.

Menurut Puji, saat ini kontribusi lahan rawa terhadap pangan nasional masih sangat rendah diperkirakan hanya 5%, di sisi lain luasan lahan rawa di Indonesia sekitar 34,12 juta ha, sehingga berpeluang untuk ditingkatkan. Dirinya menekankan, lahan rawa mempunyai keunggulan spesifik antara lain dapat menghasilkan padi saat musim kemarau (off season), di mana agroekosistem lainnya (sawah irigasi dan tadah hujan) mengalami kekeringan.  

Lahan rawa merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial untuk pertanian, terutama tanaman pangan. Namun demikian, secara alamiah lahan rawa memiliki karakter dan fisik lahan yang tidak subur dan air yang sulit dikendalikan. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam hal menghasilkan teknologi pangan produktivitas lahan rawa.

Puji mengatakan, pemerintah telah mencanangkan berbagai program optimalisasi pemanfaatan lahan rawa sebagai upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan. Pada tahun 2018/2019, Kementerian Pertanian mencanangkan program Selamatkan Rawa, Sejahterakan Petani (SERASI). Kemudian sejak 2020, Pemerintah mencanangkan program food estate lahan rawa 2020-2023 difokuskan pada area bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah, dengan komoditas tanaman pangan, khususnya padi. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi kita semua.

“Baik periset, pemangku kebijakan, praktisi, dan juga petani, agar bergandeng tangan saling menguatkan dalam program peningkatan ketahanan pangan di Indonesia. BRIN sangat terbuka dapat berkolaborasi dalam menghasilkan pengelolaan air, pembukaan lahan, cara tanam, manajemen hama dan penyakit hingga pengolahan pasca panen, dan peningkatan produktivitas lahan rawa. Saling bergandeng tangan dengan pihak-pihak terkait untuk mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan,” ujarnya mengakhiri sambutan.

Potensi Lahan Rawa untuk Tanaman Padi

Pada kesempatan yang sama Yudhistira Nugraha, Kepala PRTP BRIN mengatakan, lahan rawa memiliki potensi cukup besar untuk tanaman padi. Lebih dari 1 juta hektar lahan rawa yang akan digunakan untuk produksi padi, demikian juga tanaman pangan dan palawija termasuk komoditas perkebunan lainnya.

Ia menambahkan, lahan rawa selain memiliki potensi cukup besar, juga cukup rentan terhadap perubahan-perubahan. Pada dekade terakhir ini akibat adanya perubahan iklim lahan rawa akan banyak berdampak dalam hal potensinya sebagai tempat produksi pertanian. 

Banyak yang menyebut lahan rawa sebagai lahan gambut padahal secara terminologi lahan rawa berbeda dengan lahan gambut. Meskipun sebagai besar lahan rawa adalah lahan gambut. Beberapa waktu yang lalu Yudhistira mendapat tantangan memanfaatkan lahan gambut untuk pertanian. “Mungkin yang dimaksud adalah lahan rawa. Kalau lahan yang dilakukan produksi pertanian di lahan rawa, sebagian besar kondisi tanahnya memiliki mineral dan sebagian kecilnya adalah gambut,” ucapnya.

Menurut Yudhistira, sasaran dari peningkatan produksi di lahan rawa bukan ekstensifikasi karena ekstensifikasi identik dengan membuka lahan baru yang berakibat kerusakan lingkungan. Tapi bagaimana memanfaatkan lahan rawa yang ada kemudian dibandingkan produksinya. 

“Pada Sharing Session ke-8 ini kita coba mendapat pencerahan dari para narasumber, tentunya dari sharing dan diskusi nanti ada topik-topik riset yang mungkin bisa kita lakukan dan bahkan mungkin kolaborasi antara pemerintah daerah, universitas yang ada lahan rawanya tidak hanya Lambung Mangkurat. Seperti Universitas Sriwijaya, Universitas Tanjungpura, Universitas Mulawarman yang banyak mengkaji terkait lahan rawa. Mudah-mudahan kita bisa berkolaborasi ke depannya,” pungkas Yudhistira.

Muhammad Noor, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN dalam paparannya menjelaskan dirinya sengaja memasang foto Presiden Jokowi saat kunker tahun 2020 di Branti. “Tentu semua masih ingat bagaimana pemerintah Indonesia mengembangkan tanaman pangan di lahan rawa dengan rencana pembentukan food estate. Dalam Pokja tentang ketahanan pangan kemarin di Jakarta ada yang berpendapat food estate dilanjutkan tapi di pihak lain mengatakan bahwa food estate tidak perlu dilanjutkan karena gagal,” katanya.

Muhammad mengatakan, sekitar 0,84 juta/ha sudah dibuka tetapi tidak dimanfaatkan. Ini merupakan peluang untuk pengembangan tanaman pangan. Indonesia memiliki 13 provinsi lumbung padi dan sebagian besar merupakan lahan rawa. Rata-rata hasil di lahan rawa 4-4,5 ton. Food estate gagal karena produktivitas yang dicapai dilaporkan hanya 0,5 ton/ha. 

Menurut Muhammad, kendala dan tantangan yang ada di lapangan adalah infrastruktur pengelolaan air. Kedua kelembagaan petani, ketiga investasi dan pemasaran. Keempat sumber daya manusia.

Tipologi Lahan Rawa untuk Tanaman Padi

Narasumber Izhar Khariullah, Peneliti Ahli Madya PRTP BRIN memaparkan, definisi rawa berdasarkan PP No. 73/2013 adalah wadah air beserta air dan daya dukung yang terkandung di dalamnya kemudian terbentuk secara alami dari endapan mineral atau gambut dan ditumbuhi vegetasi yang merupakan sebuah ekosistem.

Menurut Izhar, tipologi lahan pasang surut ada 4 yaitu lahan potensial, lahan yang mempunyai kemampuan produksi optimal dengan tanpa atau sedikit faktor pembatas dalam pemanfaatannya, dengan ph> 4. Kedua, lahan sulfat masam, yaitu lahan yang memiliki lapisan pirit (sulfurik) pada kedalaman 0 – 100 cm dengan pH 3,5-4.

Ketiga, lahan gambut, yaitu lahan yang bisa untuk padi adalah lahan gambut dicirikan dengan kadar C-organik > 12%, keempat lahan salin, lahan yang mengalami intrusi air laut, memiliki kadar garam yang tinggi. Karena itu pengelolaan tanaman padi harus memiliki spesifikasi tipe luapan air maupun tipe tanahnya.

Sedangkan lahan rawa lebak dikenal 3 kategori tapi ada yang mengatakan 4 kategori, yaitu lahan lebak dangkal, lahan lebak tengahan, lahan lebak dalam dan lahan lebak sangat dalam. Lahan lebak sangat dalam hampir tidak bisa ditanaman pertanian kecuali dalam kondisi El-nino. 

“Untuk pengelolaan lahan rawa, harus dilakukan penyiapan lahan rawa untuk memanfaatkan, membersihkan atau membuka lahan-lahan sehingga bisa secara optimal dimanfaatkan. Jika ingin membuka lahan perlu kita mengetahui indikasi lahan rawa tersebut. Karena lahan yang bersifat asam mengandung pirit. Kalau membuka dengan alat berat dikhawatirkan pirit akan teroksidasi dan membahayakan tanaman yang akan ditanam,” tutur Izhar. 

Izhar menjelaskan, ciri-ciri lahan siap ditanami lahan itu bersih dari gulma, permukaan tanahnya rata dan gembur, dan terbentuk lumpur untuk lahan persawahan. 

Penataan lahan agar dapat digunakan maksimal, yaitu pertama ditata dengan sistem sawah, didahului dengan pembuatan handil atau parit dan ini merupakan kearifan lokal khususnya di lahan rawa pasang surut. Pada sebagian daerah handil-handil disebut dengan beje (long storage) dan bisa difungsikan sebagai drainase atau irigasi dan untuk transportasi air juga sebagai pembatasan kepemilikan lahan.

Kedua, di lahan rawa bisa dimanfaatkan dengan membuat tukungan-tukungan seperti kubus atau kubah berukuran 2-3 meter, tinggi menyesuaikan muka air. Secara tradisional sebelum membuat tukungan, petani mengukur area kemudian menetapkan bentuk, arah dan menetapkan dimensi antara 60-90 cm.

Ketiga, adalah dengan sistem surjan. Surjan memadukan antara sistem sawah dengan tegalan. Pada sistem ini berbagai jenis tanaman dapat ditanam, di bawah padi dan di atas holtikultura dan perkebunan, memperkecil kegagalan, membagi risiko kegagalan, dan sebagai sumber pendapatan tidak tergantung pada satu komunitas, dan diversifikasi komoditas serta beragamnya jenis tanaman yang menjadi sumber nutrisi.

Lebih jauh Izhar mengatakan, dalam pengelolaan tanaman padi rawa, yang sangat penting diperhatikan adalah pemilihan varietas. Beberapa prasyarat pemilihan varietas padi, pertama potensi hasilnya tinggi, toleran cekaman abiotik keracunan dan salinitas, permintaan pasar harus dipertimbangkan preferensi atau kesenangan masyarakat setempat, umur tanaman untuk mengantisipasi indeks dan menyiasati kekeringan, berumur genja untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP) dan tinggi tanaman, tinggi tanaman yang ditanam di lahan pasang surut diperlukan tanaman yang tinggi dan tahan hama penyakit. 

“Teknologi pengolahan lahan rawa telah tersedia namun belum semua teknologi dimanfaatkan petani dengan berbagai pertimbangan. Pengelolaan lahan rawa untuk tanaman padi sudah tersedia mulai dari varietas unggul, benih dan teknologi budidayanya. Diharapkan petani di lahan rawa dapat memanfaatkan teknologi-teknologi tersebut dengan pendampingan petugas di lapangan untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa,” ucap Izhar mengakhiri paparnnya.

Sumber: https://www.brin.go.id/news/110973/optimalisasi-lahan-rawa-untuk-ketahanan-pangan-nasional

Managed & Maintenanced by ArtonLabs