Inovasi Produk Turunan Susu Jadi Solusi Tingkatkan Nilai Jual

Inovasi Produk Turunan Susu Jadi Solusi Tingkatkan Nilai Jual

Data dari Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian tahun 2022 menyebut bahwa kebutuhan susu di Indonesia mencapai 4,4 juta ton dimana 80% dipenuhi melalui impor. Pertumbuhan konsumsi susu nasional sebesar 5% tidak sejalan dengan peningkatan produksi susu segar dalam negeri yang hanya sekitar 2%.

Kepala Pusat Riset Agroindustri (PRA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mulyana Hadipernata, mengatakan potensi susu sapi sebagai bahan produk turunan agroindustri memiliki nilai tambah yang besar. “Potensi susu sapi sebagai bahan produk turunan agroindustri jika dikembangkan dalam skala industri dapat memberikan dampak. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya nilai tambah sekaligus meningkatkan daya saing produk,” ujarnya dalam acara Webinar Agroindustry Dairy Products Mendukung Peningkatan Nilai Tambah Susu di Indonesia, Selasa (14/11).

Susu sendiri memiliki peran penting bagi kesehatan karena mengandung sejumlah nutrisi esensial. Kebutuhan susu semakin meningkat seiring bertambanya jumlah penduduk, perubahan gaya hidup dan kesadaran akan kesehatan yang meningkat. Sayangnya, Indonesia masih sangat bergantung pada impor produk susu untuk memenuhi kebutuhan domestik. Rendahnya produksi susu segar tidak hanya terkait dengan rendahnya produktivitas dan efisiensi dalam produksi susu di dalam negeri saja, tetapi juga minimnya nilai tambah produk susu.

“Diskusi yang berkembang pada webinar ini, akan menjadi umpan balik umpan balik bagi para periset untuk perbaikan dan peningkatan kualitas riset agroindustri” tegas Mulyana.

Pada webinar tersebut Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Ahmad Ni’matullah Al Baarri menjelaskan risetnya terkait Hypothiocyanite (HOSCN) yang terbuat dari whey susu.

“Potensi susu yang cukup menjanjikan salah satunya dibuat menjadi keju dan whey yang dimanfaatkan untuk kapsul protein tinggi, minuman energi dan bakery. Hypothiocyanite (HOSCN) dari whey adalah pembentuk peroxidase system atau enzim peroxidase,” terang Ahmad.

Kombinasi susu dalam bentuk HOSCN dan buah lokal dapat membuat jus buah tahan lebih lama, pengembangan preservasi tanpa panas dan dapat mendukung distribusi nasional. Dia mencontohkan jus pisang yang ditambahkan HOSCN membuat jus pisang tersebut warnanya tidak berubah menjadi gelap.

Meski demikian, Ahmad menggarisbawahi bahwa ada hal yang harus diperhatikan dalam produk turunan susu, yaitu mengenai bakteri. “Kita harus mewaspadai keberadaan bakteri S. aureus dan E. pada susu dan produk turunannya. Kedua bakteri tersebut dapat dibunuh atau ditekan dengan enzim peroxidase sampai batas yang aman untuk dikonsumsi,” tambahnya.

Terkait produk turunan susu lainnya, periset PRA BRIN, Retno Esti Dumilah Widjayanti memaparkan peluang dan tantangan industri keju di Indonesia. Retno menjelaskan bahwa konsumsi keju nasional saat ini masih rendah sebesar 0,35 gram/kapita/tahun. Jauh jika dibandingkan konsumsi keju di Filipina tahun 2022 sebesar 0,44 kg dan China 0,12 kg/kapita/tahun. Meskipun masih cukup rendah, Retno mengatakan konsumsi keju nasional secara umum memiliki tren positif dari tahun ke tahun.

“Keju merupakan produk yang dibuat dari penggumpalan protein susu dengan menggunakan rennet dan asam. Jenis keju dibedakan berdasarkan tekstur seperti soft (cottage, cream cheese, mozzarella), hard (cedar) dan very hard (parmesan). Manfaat keju sebagai sumber protein, vitamin dan mineral. Keju biasanya dijadikan bahan penambah rasa hidangan mulai dari kudapan, hingga aneka sajian modern, bahkan banyak juga yang dimakan langsung” terang Retno.

Selain konsumsi yang masih rendah, menurut Retno tantangan dalam produksi keju cukup banyak. Diantaranya genetik hewan ternak, mutu susu, metode cepat menguji mutu susu, keju dan keamanan pangan, bahan pembuatan keju, teknologi untuk meningkatkan mutu keju dan keberlanjutan implementasi rantai dingin.

Namun demikian, Reno juga melihat peluang yang cukup besar dalam industri keju. “Masih ada potensi melalui pengembangan keju lokal atau tradisional seperti dangke, dadih, pengolahan whey dan industri rennet Indonesia,” tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Widaningrum periset PRA BRIN melihat adanya potensi dari produk probiotik atau susu fermentasi. Ia menyebut penjualan produk probiotik atau susu fermentasi diproyeksikan terus meningkat sekitar 7% per tahun.

“Salah satu produk probiotik adalah yoghurt yang dibuat melalui fermentasi asam laktat (BAL) dari golongan Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Fermentasi gula susu (laktosa) oleh bakteri asam laktat (BAL) menghasilkan asam laktat yang berperan dalam membentuk tekstur seperti gel dan aroma unik yoghurt,” terang Widaningrum.

Yoghurt sebagai salah satu jenis susu fermentasi sangat disukai semua kalangan, memberi manfaat kesehatan dan berbagai simbiotik. Simbiotik merupakan perpaduan prebiotik dan probiotik dalam satu produk pangan.

“Trend mengonsumsi susu fermentasi (yoghurt) di Indonesia meningkat 10% per tahun, karena dianggap menyehatkan, praktis dan rasanya yang enak. Namun demikian masih ada permasalahan dalam produksi yoghurt. diantarnya produksi susu segar dalam negeri yang masih rendah, kualitas susu masih harus ditingkatkan dan preferensi konsumen yang terus berubah,” ungkap Widaningrum.

Oleh sebab itu, perlu inovasi untuk meningkatkan produksi, konsumsi dan pemasaran yoghurt. Pengolah susu harus tanggap terhadap perubahan pasar, melakukan inovasi teknologi, harga yang terjangkau, masa simpan lebih lama dan khasiat yang terjaga, tutupnya.

Sumber: https://www.brin.go.id/news/116693/inovasi-produk-turunan-susu-jadi-solusi-tingkatkan-nilai-jual

Managed & Maintenanced by ArtonLabs