Bawang merah menjadi salah satu komoditas pangan yang ditargetkan Indonesia pada 2045 sebagai lumbung pangan dunia. Namun, ketersediaan benih menjadi problematika utama produktivitas bawang merah di Indonesia.
Periset Pusat Riset Hortikultura, Organisasi Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sigid Handoko mengatakan, pada 2022, kebutuhan umbi bawang merah sebagai bibit hanya terpenuhi sekitar 20 persen. Sebab, sebagian besar tanaman bawang merah digunakan untuk memenuhi konsumsi masyarakat.
“Selama ini, petani menanam bawang merah dari umbinya. Di sisi lain, mereka juga mengonsumsi umbi tersebut sebagai bahan masakan,” ujar Sigid, Kamis (1/8).
Menyikapi permasalahan tersebut, Sigid mengenalkan teknologi benih botani atau True Seed of Shallot (TSS) sebagai solusi atas ketersediaan benih umbi bawang merah. Menurutnya, terdapat perbedaan yang cukup signifikan saat petani menanam menggunakan TSS dibanding menggunakan umbi bawang merah.
Keunggulan TSS adalah dari segi biaya lebih murah, dalam satu hektar tanah cukup dibutuhkan 3 hingga 6 kilogram. Sedangkan penggunaan benih dari umbi dibutuhkan 1 hingga 1,5 ton umbi.
“Penggunaan TSS mampu menghemat kebutuhan petani dalam pengadaan umbi bawang merah, sehingga petani akan semakin diuntungkan,” papar Sigid.
Selain itu, dari segi distribusi dan penyimpanan, TSS menurutnya lebih mudah dan murah jika dibandingkan dengan umbi bawang merah biasa. Pendistribusian umbi bawang merah lebih sulit karena umbi harus dikeringkan terlebih dahulu, sehingga dibutuhkan lahan yang luas.
“TSS merupakan solusi bagi petani bawang merah yang tidak memiliki lahan luas,” tambahnya.
Hal terpenting dari keunggulan TSS menurut Sigid adalah kesehatan benihnya terjaga. Umbi bawang yang ditanam petani terkadang terinfeksi bakteri atau jamur patogen yang dapat mengganggu kesehatan tanaman. Sedangkan TSS terbebas dari patogen karena dihasilkan dari proses yang higienis.
Akan tetapi, sambung Sigid, masih terdapat kekurangan dari penggunaan TSS. Di antaranya daya tumbuhnya rendah, umbi yang dihasilkan lebih sedikit, dan umur panen lebih lama 15 hingga 30 hari jika dibandingkan dengan penanaman umbi bawang merah biasa.
“Jumlah umbi yang dihasilkan dari penanaman menggunakan TSS lebih sedikit jika dibandingkan dengan umbi bawang merah biasa,” katanya.
Menjawab permasalahan di atas, dia menyebut perlu perlakuan khusus yang dapat dilakukan oleh petani sebelum TSS disemai, yaitu dengan perendaman menggunakan air kelapa muda. Air kelapa mengandung enzim dan zat pengatur tumbuh, yang mampu meningkatkan daya tumbuh dan jumlah umbi bawang merah.
Dengan perendaman TSS ke dalam air kelapa terlebih dahulu selama empat jam, maka prosentase tumbuh meningkat hingga 90 persen, dibandingkan jika tanpa perendaman, di mana, prosentase tumbuhnya hanya 40 persen saja. Demikian juga jumlah umbi bawang merah meningkat menjadi 6 umbi dari sebelumnya 2 hingga 3 umbi per tanaman.
“Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan, dengan inovasi teknologi ini mampu meningkatkan hasil hingga memperoleh B/C rasio sebesar 3,397,” sebutnya.
Sigid memberikan kiat pemilihan waktu penanaman bawang merah agar hasilnya dapat terjual dengan harga tinggi.
“Pada umumnya, sepekan setelah Idul Fitri, terjadi peningkatan harga sayur, termasuk bawang merah. Dengan hitungan mundur tiga bulan sebelumnya dilakukan penanaman bawang merah TSS, diharapkan harga jual hasilnya nanti dapat ikut terdongkrak mengikuti situasi yang menguntungkan,” pungkasnya.
Sumber: https://brin.go.id/news/119941/true-seed-of-shallot-solusi-ketersediaan-benih-bawang-merah