BRIN Kembangkan Sistem Peternakan Ramah Lingkungan untuk Menghadapi Perubahan Iklim

BRIN Kembangkan Sistem Peternakan Ramah Lingkungan untuk Menghadapi Perubahan Iklim

Filantropis Bill Gate memperingatkan bahwa ancaman perubahan iklim akan lebih mematikan dibanding pandemi Covid-19. Salah satu sektor yang terdampak adalah peternakan. Selain memiliki kontribusi sebagai penghasil emisi gas rumah kaca, sektor ini juga sebagai penyedia sumber protein hewani untuk gizi masyarakat.

“Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi dunia riset. Kita memiliki keunggulan komparatif sumber daya genetik ternak dan tanaman pakan ternak. Namun, potensi itu belum dimanfaatkan secara maksimal dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, karena kapasitas iptek yang terbatas. Ini menjadi tantangan untuk periset BRIN untuk terus terlibat dalam pencarian gen-gen penting melalui analisis genomik, protemik, transkriptomik, dan metabolomik,” ucap Puji Lestari selaku Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN saat membuka webinar bertajuk Development Climate Smart Livestock System: Adaptation and Resilience to Climate Change in Indonesia pada Kamis (25/8).

Dirinya menambahkan, ke depan peran teknologi omics sangat penting dalam mengoptimalkan pemanfaatan ternak. Berbagai inovasi teknologi harus dapat diimplementasikan menjadi sebuah sistem untuk membangun industri peternakan ramah lingkungan dan tahan menghadapi dampak perubahan iklim.

Sejalan dengan pernyataan Puji, R.A. Yeni Widiawati Peneliti Pusat Riset Peternakan menerangkan pengembangan peternakan sudah harus diarahkan kepada penanganan gas rumah kaca, melalui pengembangan sistem peternakan ramah lingkungan.

”Sistem ini tujuannya untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan, khususnya ternak secara berkelanjutan. Untuk mencapai program, maka kita harus berkolaborasi. Tidak bisa hanya satu sektor, karena penanganan ternak melibatkan banyak sektor, baik terkait penelitian dan implentasi teknologi yang digunakan. Kolaborasi ini kedepannya akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas, baik sumber daya manusia,  perlengkapan riset, dan ilmu  pengetahuan,” imbuh Yeni.

Selanjutnya M. Nasir Rofiq Peneliti Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup menambahkan, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi karbon dari produksi peternakan adalah dengan menghitung jejak karbon.

“Jejak karbon dapat dihitung dengan metode tertentu. Data tersebut dapat dikembangkan dengan perluasan dan alokasi sistem menjadi data fisik, ekonomi, dan nutrisi. Data lokal yang diperoleh dapat menjadi data nasional tentang emisi gas rumah kaca yang berasal dari produksi peternakan di Indonesia. Data ini dapat dianalisis bersama melalui kolaborasi riset untuk analisis Life Cycle Assessment dan jejak karbon,” ungkap Nasir.

Dalam kesempatan yang sama, Mohammad Ikhsan Peneliti Pusat Riset Peternakan menjelaskan gas emisi yang dihasilkan dari pupuk kandang juga dapat diukur dengan aplikasi android.

“Tahun 2021 kami telah melakukan beberapa riset model emisi untuk mendapatkan gambaran yang dapat menunjukkan peningkatan greenhouse gasses (GHG) yang dihasilkan dari pengelolaan pupuk kandang. GHG diperoleh dari perlakukan massa sapi yang diberi konsentrat. Dari info tersebut, akan didapatkan info dugaan besarnya emisi yang dihasilkan, sehingga dapat diolah sebagai basis data dalam aplikasi untuk mengetahui kadar emisinya,” ungkapnya.

Ikhsan menuturkan selain riset tersebut, beberapa riset lain yang dapat dikembangkan adalah riset pemanfaatkan pupuk kandang sebagai sumber energi (biogas), peluang pengukuran gas dengan teknologi yang lebih handal, juga riset protokol pengambilan gas pada kotoran ternak.

Selain beberapa model pengukuran emisi di atas, Hardiana Bansi, peneliti pada pusat riset yang sama juga mengungkapkan adanya metode lain untuk mengukur dan memitigasi gas metana hasil produksi peternakan.

“Tekniknya ada dua, yaitu teknik pengukuran in vivo dan in vitro. Greenfeed adalah salah satu teknik in vivo yang saya tekuni. Teknik ini mengukur secara real time gas metana enteric yang dikeluarkan oleh ternak dan terkoneksi dengan server. Metodenya dengan memasukkan ternak ke dalam sebuah alat dan melalui hembusan nafasnya diukur kadar gas metana yang dikeluarkan. Sedangkan metode lainnya yaitu in vitro untuk mengukur total gas hasil pencernaan pakan,” tutup Hardiana.

Selanjutnya untuk upaya memitigasi emisi gas metana, Hardiana merekomedasikan beberapa pendekatan. Diantaranya pengelolaan pakan, memanipulasi rumen dan genetic merit serta vaksinasi ternak.

Webinar ini juga menghadirkan Peneliti dari New Zealand Agricutural Greenhouse Gas Research Center, Roger Hegarty, dengan paparan materi berjudul ”Overview of Global Greenhouse Gasses from Livestock”. Roger menyampaikan bahwa upaya peningkatan produktivitas ternak dengan cara menurunkan intensitas gas metana yang dihasilkan per satuan produk yang dihasilkan menjadi prioritas semua negara. Hal ini penting dilakukan untuk menjamin ketersediaan pangan secara berkelanjutan.

Managed & Maintenanced by ArtonLabs