Jagung merupakan tanaman serealia ketiga yang paling banyak dibudidayakan di dunia dan berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan global. Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2016 memproyeksikan kebutuhan jagung dunia akan terus meningkat hingga mencapai 3.3 miliar ton pada tahun 2050.
Demikian disampaikan Hishar Mirsam, Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Tanaman Pangan (ORPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam paparannya tentang Fusarium verticillioides pada Tanaman Jagung di Indonesia: Karakteristik, Potensi Kerusakan, dan Teknologi Pengendaliannya dalam webinar TERAS-TP#3, dengan tema “Pengelolaan Patogen Utama Tular Tanah dan Produksi Benih Bermutu Dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Jagung Nasional,” pada Rabu (17/4) secara daring.
Dirinya menambahkan pula laporan Kementerian Pertanian RI bahwa produksi jagung pipilan di Indonesia berfluktuatif dan cenderung meningkat terutama pada tahun 2022 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibanding pada tahun sebelum dan setelahnya.
“Melihat produksi jagung di Indonesia secara statistik mengalami peningkatan namun peningkatan produksi jagung tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan jagung secara nasional, salah satu penyebabnya yaitu karena adanya faktor pembatas berupa faktor biotik yaitu adanya serangan patogen tular tanah yang mungkin beberapa tahun terakhir menjadi salah satu kendala dalam produksi benih jagung bagi Indonesia,” ungkap Hishar.
Dirinya menjelaskan bahwa dengan berkembangnya pertanian maka dapat dilihat bahwa penyakit tanaman telah menjadi faktor yang semakin signifikan mempengaruhi hasil panen dan efisiensi ekonomi diantara beberapa golongan patogen cendawan. Fusarium verticillioides adalah satu patogen tular tanah utama pada jagung yang bersifat kosmopolit atau memiliki inang yang cukup luas diantaranya; jagung, sorghum, padi dan jewawut.
Fusarium verticillioides merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap hasil dan kualitas biji-bijian karena patogen ini juga dapat menyerang pada gudang penyimpanan dan mencemari biji-bijian dengan menghasilkan mikotoksin dan inilah yang sangat ditakuti oleh para pemerhati pertanian.
Selain itu Fusarium verticillioides ini dapat menginfeksi tanaman jagung pada semua fase perkembangan tanaman dari awal perkecambahan biji hingga panen, termasuk kerusakan benih pasca panen hingga dapat menginfeksi atau mengkolonisasi benih-benih yang ada di gudang penyimpanan.
Besarnya kerugian disebabkan oleh Fusarium verticillioides karena serangganya bersifat sistemik dan dapat berasosiasi dengan jagung, dengan mengkolonisasi akar batang dan tongkol hingga menyebabkan beberapa penyakit yang mungkin umumnya kita ketahui yaitu busuk batang Fusarium dan busuk tongkol Fusarium. Bahkan patogen ini dapat menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar hingga gagal panen.
“Seperti yang kita ketahui patogen ini adalah patogen tular tanah sehingga patogen ini dapat hidup dan bertahan pada sisa-sisa tanaman yang tidak dibersihkan atau tidak disanitasi dengan baik pada tanaman jagung sehingga dapat berkembang dengan baik pada sisa-sisa tanaman tersebut dan menjadi sumber inokulum untuk perkembangan patogen berikutnya,” jelas Hishar.
Hishar menambahkan, bahwa patogen ini dikenal juga sebagai patogen yang sangat berbahaya karena kadang dia tidak menimbulkan gejala pada tanaman tetapi memiliki resiko yang sangat parah karena patogen ini dapat menghasilkan mikotoksin berupa fumonisin.
Fumonisin inilah yang menjadi ancaman terhadap kesehatan konsumen terutama manusia dan hewan karena dapat menyebabkan penyakit-penyakit kronis yang mematikan pada manusia maupun pada hewan ternak.
Bagaimana strategi pengendalian pra panen dan pasca panen?
Strategi pengendalian pra panen dapat dilakukan dengan metode agronomi yaitu dengan melakukan atau mengikuti teknik budidaya yang baik dan benar selain itu juga bisa dilakukan pengendalian hayati dengan menempatkan agent-agent antagonis baik dari golongan cendawan maupun bakteri, juga bisa dilakukan dengan pendekatan kimiawi atau pengendalian yang dilakukan pada saat tingkat serangan sudah melewati ambang kerugian ekonomi.
Kemudian untuk kerugian pasca panen hampir sama yaitu dapat dilakukan dengan metode fisik, metode hayati dan metode kimia. “Apabila strategi pengendalian ini dilakukan secara baik dan benar maka dapat menjamin hasil produksi yang tinggi, kualitas bagus serta menjamin kesehatan manusia dan hewan ternak,” pungkas Hishar.
Sumber: https://www.brin.go.id/news/118192/peneliti-brin-jelaskan-patogen-tular-tanah-pada-jagung