Indonesia Menuju Penghiliran Produk Sawit

Indonesia Menuju Penghiliran Produk Sawit

Melalui hilirisasi, Indonesia akan memperoleh manfaatnya berupa kenaikan nilai yang berlipat-lipat.

Indonesia terkenal sebagai produsen utama dunia kelapa sawit atau crude palm oil(CPO) dunia. Indikator itu bisa terlihat dari sisi pangsa pasar di dunia.

Produk sawit Indonesia tercatat mencapai 59 persen pangsa pasar dunia. Baru setelah itu, di posisi kedua adalah Malaysia dengan penguasaan 25 persen. Gabungan negara lain baru menguasai 16 persen.

Namun, sejak pemberlakuan Undang-Undang Anti Deforestasi UE (European Union Deforestation Regulation/ EUDR) sejak akhir tahun lalu, produk sawit kedua negara sangat terpukul. Pasalnya, Uni Eropa segera memberlakukan regulasi baru itu sekitar Mei atau Juni 2023.

EUDR sendiri adalah regulasi Uni Eropa yang bertujuan mengenakan kewajiban uji tuntas terhadap tujuh komoditas pertanian dan kehutanan, termasuk kelapa sawit. Kewajiban ini adalah untuk membuktikan bahwa barang yang masuk ke pasar Uni Eropa merupakan barang yang bebas dari deforestasi.

Regulasi itu diperkirakan akan diadopsi pada Mei atau Juni 2023. Bagi produsen kelapa sawit dunia, termasuk Indonesia dan Malaysia, regulasi itu dinilai sebagai bentuk diskriminasi perdagangan dunia.

Sikap penolakan terhadap regulasi itu telah dinyatakan oleh petani sawit Indonesia. Para petani kelapa sawit itu tergabung ke dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).

Mereka menyampaikan keprihatinan karena produk kelapa sawit dianggap sebagai perusak lingkungan. Namun pertanyaannya, apakah adanya ganjalan dalam praktik perdagangan dunia dengan melakukan diskriminasi perdagangan oleh Uni Eropa membuat industri sawit Indonesia menjadi melemah?

Tentu jawabannya tidak. Apalagi, kontribusi industri sawit terhadap perekonomian sangat besar. Bahkan, subsektor itu mampu membantu Indonesia keluar dari berbagai krisis keuangan dan menutupi neraca perdagangan yang defisit.

Industri sawit dengan demikian berperan strategis pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam tulisan kali ini akan diulas strategi Indonesia menghadapi bentuk-bentuk diskriminasi perdagangan, dengan lebih mengupayakan segera program penghiliran di industri itu sebagai bagian untuk meningkatkan nilai tambah produk.

Khusus soal penghiliran, dorongan agar pelaku usaha kelapa sawit di negeri ini menyegerakan program penghiliran sudah sering disuarakan oleh Presiden Joko Widodo. “Melalui hilirisasi, Indonesia akan memperoleh manfaatnya berupa kenaikan nilai yang berlipat-lipat.”

Tak dipungkiri, Indonesia perlu menengok ke negeri jiran dalam mengelola industri sawitnya. Malaysia memang lebih unggul dalam melakukan hilirisasi, sehingga menjamin aliran pasokan produknya ke pasar dunia.

Mereka lebih kompetitif dalam pemasaran dan layanan ke konsumen dunia. Bayangkan, dalam konteks hilirisasi, kini nilai tambah produk sawit Indonesia hanya memproduksi 47 produk turunan dari produk sawit. Indonesia masih mengandalkan CPO dan minyak goreng.

Sebaliknya, Malaysia telah memproduksi sekitar 100 jenis produk turunan CPO dan hampir semuanya telah dipasarkan di pasar regional dan internasional.

Dorong Hilirisasi

Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sebagai pemangku kepentingan industri berbasis agro, telah mendorong hilirisasi berbasis sumber daya alam agar dapat terus memacu nilai tambah ekonomi. Salah satunya, dengan mengembangkan industri pengolahan minyak kelapa sawit.

Melalui kebijakan hilirisasi, pemerintah menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat produsen produk turunan minyak sawit dunia pada 2045. Selain itu, diharapkan hal tersebut juga dapat membuat Indonesia menjadi penentu harga CPO global.

Pasalnya, Indonesia sudah menguasai pasar ekspor CPO sebesar 55 persen lebih. Tentu apresiasi juga patut diberikan kepada pemerintah. Pasalnya, kebijakan pembentukan perusahaan holding, gabungan sejumlah PT Perkebunan Negara (PTPN), bernama Palm Co, yang diarahkan khusus mengelola bisnis sawit dari hulu ke hilir, akan mendorong penghiliran industri sawit.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kinerja sebenarnya dari industri sawit pascapenerapan EUDR? Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, produksi minyak sawit Indonesia pada awal tahun ini stagnan dan stoknya cenderung turun.

Asosiasi itu melaporkan produksi CPO pada Januari 2023 sebesar 3,89 juta ton dan minyak inti sawit (PKO) sebesar 370.000 ton yang relatif sama dengan produksi CPO pada Januari 2022 sebesar 3,86 juta ton dan PKO sebesar 365.000 ton. Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan, produksi CPO pada Januari 2023 lebih rendah sekitar 9,5 persen. Itu disebabkan faktor musiman dibandingkan dengan produksi CPO pada bulan sebelumnya, yakni sebesar 4,3 juta ton.

Khusus konsumsi dalam negeri CPO dan PKO, Gapki mencatat pada Januari 2023 sebesar 1,786 juta ton lebih tinggi dari konsumsi Januari 2022 sebesar 1,49 juta ton. “Tetapi lebih rendah dari konsumsi Desember 2022 sebesar 1,93 juta ton,” ujarnya dalam pernyataan resminya, Senin (27/3/2023).

Nah, bagaimana bila dilihat dari distribusi penggunaannya? Khusus kepentingan konsumsi industri pangan pada Januari 2023, pasokan sawit hanya mencapai 793.000 ton dibandingkan dengan 901.000 ton pada Desember 2022.

Nasib yang sama juga menimpa konsumsi untuk biodiesel yang turun menjadi 810.000 ton pada Januari 2023 dari 850.000 ton pada Desember 2022. Sebaliknya, konsumsi untuk industri oleokimia pada Januari 2023 sebesar 183.000 ton relatif sama dengan bulan sebelumnya sebesar 185.000 ton.

Masih dari laporan Gapki, volume ekspor CPO pada Januari 2023 mencapai 2,94 juta ton yang lebih tinggi dari ekspor Desember 2022 sebesar 2,75 juta ton. Negara tujuan ekspor seperti Mesir, Italia, dan Singapura pada Januari 2023 menunjukkan pemulihan masing-masing mencapai 57.220 ton, 114.280 ton dan 23.800 ton dibanding ekspor pada Desember masing-masing sebesar 9.410 ton, 72.580 ton, dan 8.280 ton.

Kemudian, ekspor ke Bangladesh, Pakistan, Vietnam dan Rusia pada Januari 2023 mengalami penurunan lebih dari 50 persen dari bulan sebelumnya. Gapki juga mencatat harga rata-rata CPO pada Januari 2023 adalah USD1.024 per ton CIF Rotterdam dan harga lokal adalah USD754 per ton FOB Dumai KPBN.

Adapun, harga pada Desember 2022 adalah sebesar USD1.035 per ton CIF Rotterdam dan lokal USD755 per ton FOB Dumai KPBN. Meskipun secara volume terjadi kenaikan ekspor, tetapi nilai ekspor produk minyak sawit pada Januari 2023 sebanyak USD2,605 juta atau lebih rendah dari nilai ekspor Desember 2022 sebesar USD2,79 juta.

“Dengan komposisi produksi, konsumsi, dan ekspor seperti dijelaskan sebelumnya, stok CPO ditambah PKO pada akhir Januari 2023 adalah sekitar 3,1 juta ton, lebih rendah dari stok pada Desember sekitar 3,56 juta ton dan lebih kecil dari konsumsi dalam negeri ditambah ekspor untuk satu bulan,” ujar Mukti.

Sumber: https://www.indonesia.go.id/kategori/editorial/7031/indonesia-menuju-penghiliran-produk-sawit?lang=1

Managed & Maintenanced by ArtonLabs