Pada tahun 2045, penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 9,45 miliar orang, di mana yang terbesar sebanyak 55% nya adalah penduduk Asia. Kondisi ini menjadi tantangan Program Pembangunan Nasional 2024-2045. Pemerintah harus mengantisipasi lonjakan pertumbuhan penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat, peningkatan standar kualitas pangan, dan permintaan jenis-jenis pangan tertentu.
Untuk itu Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (ORHL) berkomitmen melakukan riset-riset dan inovasi terkait rehabilitasi ekosistem berbasis agroforestri untuk mendukung ketahanan pangan.
Hal ini disampaikan Kepala PREE ORHL BRIN, Anang Setiawan Achmadi saat membuka Jamming Session seri ke-12, yang bertemakan “Mainstreaming Smart Agroforestry untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”, Kamis (29/8) secara hibrid.
Guru Besar Bidang Ilmu Gizi Masyarakat IPB University, Drajat Martianto dalam paparannya sebagai narasumber menyatakan agroforestri atau wanatani merupakan lokal wisdom masyarakat Indonesia yang sudah ada sejak lama. Ia mencontohkan beberapa praktik agroforestri yang dilakukan masyarakat lokal secara turun temurun.
“Di Jawa kita mengenal istilah mratani, yaitu sistem bercocok tanam dengan berkebun dan beternak. Kita dapat menanam bibit hortikultura atau tegakan hutan di pekarangan atau lahan kosong di sekitarnya. Di Maluku konsep ini dikenal dengan sebutan dusung, di Lampung dikenal dengan istilah repong, dan di Sumut dengan nama reba juma,” tuturnya.
Terkait dengan komoditas jenis tanaman dan hewannya, Ia meyakini tingkat konsumsi masyarakat terhadap jenis padi-padian, tanaman penghasil minyak, dan lemak di masyarakat Indonesia sudah berlebih. “Yang perlu ditingkatkan adalah konsumsi protein baik nabati maupun hewani,” pungkasnya.
Sementara itu, Peneliti Ahli Madya PREE BRIN, Dona Octavia memaparkan hasil-hasil penelitian agroforestri yang sudah berhasil dilakukannya bersama masyarakat di areal perhutanan sosial. Menurutnya, areal perhutanan sosial sangat penting peranannya karena lebih dari 50% desa di Indonesia terletak di tepi dan di dalam kawasan hutan.
Dia optimis, konsep smart agroforestry (SAF) melalui optimalisasi pemanfaatan areal perhutanan sosial melalui teknik silvikultur dan pemilihan jenis-jenis tanaman tahan naungan dan bergizi tinggi dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
“Jenis-jenis talas, ganyong (Canna edulis), dan gembili (Dioscorea esculenta) yang ditanam masyarakat di Jawa terbukti juga dapat meningkatkan pendapatan hingga 5 kali lipat,” terangnya antusias.
Selanjutnya dia menekankan bahwa model SAF telah direkomendasikan untuk pengembangan di bidang perhutanan sosial, dengan tujuan memberikan akses bagi masyarakat sekitar hutan dalam bentuk kelompok tani hutan, yang difasilitasi dengan perluasan untuk meningkatkan kapasitas petani, dan keterkaitan dengan permodalan dan pasar.
Menambahkan apa yang disampaikan Dona, Peneliti Ahli Madya PREE BRIN lainnya, Aditya Hani mencontohnya praktek agroforestri berbasis hutan bambu di Kabupaten Ciamis. Hasil penelitian penanaman kacang tanah dan jagung di hutan bambu, mampu memberi nilai tambah bagi petani.
“Tidak hanya panen rebung dan batang-batang bambunya, kacang tanah dan jagung juga ternyata mampu meningkatkan pendapatan petani,” ujarnya. Dia juga menambahkan hutan bambu yang berfungsi mencegah erosi kini lahannya menjadi lebih subur setelah menerapkan smart agroforestri.