Manfaatkan Inovasi Teknologi, Atasi Tantangan Ekspor Produk Hortikultura

Manfaatkan Inovasi Teknologi, Atasi Tantangan Ekspor Produk Hortikultura

Faktor penghambat dalam ekspor produk hortikultura, diantaranya komoditi cepat mengalami pembusukan, mudah terserang penyakit dan bulky atau memakan tempat. Faktor tersebut menyebabkan produk holtikultura sulit untuk bersaing dengan negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia ujar Mulyana Hadipernata, Kepala Pusat Riset (PR) Agroindustri, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). 

“Pusat Riset Agroindustri telah melakukan berbagai riset untuk mengatasi berbagai permasalahan produk hortikultura, salah satunya riset memperpanjang umur simpan produk holtikultura dengan teknologi coating. Bahan baku coating bersumber dari pati, lemak, dan produk laut,” ujar Mulyana dalam Webinar Agroinfuture #3 bertajuk “Potential of Export Trade in Agricultural Commodities, Problems Faced by Practitioners and Efforts to Help Solve Problems by BRIN Researchers”, pada Senin (25/9).

Senada dengan Mulyana, Periset PR Agroindustri, Setyadjit, menjelaskan tentang riset teknologi coating untuk memperpanjang masa simpan produk hortikultura seperti nano wax coating yang digunakan untuk bawang merah dan coating berbasis sawit untuk mangga serta teknologi pengemasan untuk produk segar. Dia menjelaskan selama ini riset masih diprioritaskan untuk komoditas pangan yaitu untuk pemenuhan kebutuhan domestik dalam negeri. 

“Hal ini tentu sangat jauh berbeda apabila untuk komoditas tujuan ekspor. Mulai dari memilih varietas atau jenis komoditas yang memiliki pasar ekspor, teknologi untuk menghasilkan produk terbaik hingga harusmengikuti pola konsumsi pelanggan di negara tujuan,” ungkapnya.

Ia menyebut ada kebutuhan dan prioritas yang berbeda. Oleh sebab itu perlu kolaborasi antara periset dan eksportir. Kolaborasi ini memungkinkan saling berbagi kekuatan, pengetahuan, dan fasilitas agar teknologi yang dihasilkan tepat guna sehingga bisa langsung diaplikasikan, tidak hanya skala lab atau tataran riset lagi. 

Terkait industri buah tropis, Yacob Ahmad, Advisor International Tropical Fruits Network (TFNet) Malaysia menyebutkan bahwa tantangan dalam industri buah tropis diantaranya perubahan iklim, serangan hama dan penyakit, produktivitas, biaya produksi, akses pasar dan menyatukan petani kecil dalam rantai pasok. 

Di asia tenggara sendiri, produksi buah-buahan tropis diestimasi menghasilkan 21% dari pasokan buah tropis dunia, namun sebagian besar produksi tersebut masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam negeri, ujarnya. “Industri buah tropis sangat dipengaruhi permintaan pasar dan konsumen akan makanan eksotis, enak, dan bernutrisi untuk kebutuhan diet sehat. Selain itu populasi masyarakat urban, pertumbuhan masyarakat kelas menengah, keterjangkauan harga, dan imigrasi juga turut mempangaruhi,” jelas Yacob lebih lanjut.

Yacob menjelaskan, saat ini produksi untuk buah-buahan mayor dan minor terus ditingkatkan. Apalagi dengan meningkatnya permintaan ekspor terhadap buah-buahan minor seperti durian, buah naga, markisa, dan rambutan. Selain itu keberadaan teknologi dan inovasi baru yang meningkatkan produktivitas serta keberadaan pasar elektronik merupakan bagian dari perkembangan terkini di industri buah tropis.

Kiran Rahal, Chief Executive Officer di KSIP Group berbagi pengalamannya sebagai salah satu eksportir produk hortikultura. KSIP Group merupakan perusahaan eksportir produk hortikultura seperti buah dan sayur yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan. KSIP Group mendapatkan komoditas ekspornya dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan sebagian Sulawesi.

Kiran menjelaskan bahwa jalur perdagangan buah dunia sebagian besar ekspor buah berasal dari Amerika Selatan, dan Amerika Tengah dengan tujuan Amerika Serikat. “Jadi biasanya eksportir produk hortikultura adalah negara tetangga disekitarnya, seperti Meksiko mengirim buah ke negara tetangganya yaitu AS,” jelasnya.

Dalam pengiriman buah-buahan dan sayuran, jalur transportasi yang utama adalah melalui laut dan udara. “Pengiriman melalui udara jauh lebih mudah, cepat tetapi volumenya kecil dan jadinya lebih mahal. Sedangkan pengiriman menggunakan laut volume lebih besar, harga lebih murah, tetapi lebih lama,” ungkapnya.

Ia menjelaskan perlunya pendingin di dalam kontainer untuk menjaga temperatur tetap konstan agar kualitas komoditas terjaga. Selain itu, perlu penanganan pasca panen yang baik untuk menjaga kualitas, tampilan dan kualitas sebelum dan selama pengiriman. 

“Luka gores sedikit saja pada kulit ubi yang kami ekspor bisa menimbulkan jamur dan menurunkan harga,” ujarnya.

Oleh sebab itu, dirinya sebagai eksportir sangat membutuhkan inovasi-inovasi dan membuka peluang kerjasama bagi periset di BRIN untuk mendukung perdagangan ekspor, mengingat produk hortikultura memiliki masa simpan pendek, kualitas beragam, produktivitas rendah dan tersebar di beberapa lokasi produk.

Sumber: https://www.brin.go.id/news/115458/manfaatkan-inovasi-teknologi-atasi-tantangan-ekspor-produk-hortikultura

Managed & Maintenanced by ArtonLabs