Atasi Kelangkaan hingga Kepunahan Anggrek, Perlu Tindakan Pencegahannya

Atasi Kelangkaan hingga Kepunahan Anggrek, Perlu Tindakan Pencegahannya

Kelangkaan hingga kepunahan menjadi ancaman bagi berbagai jenis anggrek alam, sehingga diperlukan tindakan untuk mencegahnya. Konservasi konvensional tidak lagi terbatas pada pengumpulan dan penanaman tumbuhan di kebun raya. Saat ini teknologi telah membuka pintu inovasi dengan memperkenalkan alat-alat digital yang dapat meningkatkan identifikasi spesies.

Hal tersebut disampaikan Ketua Tim Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) M. Imam Surya, dalam acara Garden Talk ke 20 dengan tema Konservasi Anggrek Kepulauan Sunda Kecil: Langkah Konvensional Sampai Aplikasi Digital pada Selasa (19/12) secara daring.

Lebih lanjut imam menjelaskan, seiring perkembangan teknologi, tidak hanya anggrek, tetapi juga spesies lain dapat diidentifikasi dengan memanfaatkan teknologi digital. Menggantikan metode identifikasi konvensional berbasis morfologi yang dibatasi oleh jumlah tenaga ahli yang ada.

Hal senada juga disampaikan oleh Inung Wijayanto, Dosen dan Ketua Kelompok Riset Sinyal Fakultas Teknik Elektro Universitas Telkom dalam paparannya Aplikasi Kecerdasan Buatan dalam Identifikasi Spesies Anggrek.

Wijayanto menyatakan kemajuan teknologi, telah diciptakan suatu sistem yang mampu berpikir dan bersikap selayaknya manusia, dilengkapi dengan kecerdasan dan kemampuan berpikir. “Salah satu contohnya adalah kemampuan sistem ini untuk mendeteksi anggrek dengan menggunakan daun, dengan dukungan data yang memadai. Semakin banyak data yang dapat dipelajari, semakin canggih pula sistem yang dihasilkan,” jelas Wijayanto.

Peneliti BRIN, I Gede Tirta dalam paparannya yang berjudul Anggrek Kantong di Bali dan NTT menyatakan saat ini diprediksi ada + 200 jenis anggrek alam tumbuh tersebar di Pulau Bali. Sayangnya, baru 151 jenis terkoleksi di Kebun Raya Bali, termasuk anggrek kantong.

“Anggek kantong (Paphiopedilum spp) memiliki bentuk bunga yang unik menyerupai kantong. Beda dengan jenis anggrek pada umumumnya yang tumbuh menempel (epivit) di batang pohon, anggrek kantong tumbuh di tanah (teresterial). Saat ini Kebun Raya Bali mengoleksi 6 spesies yang terdiri dari Paphiopedilum javanicum, Paphiopedilum lowii, Paphiopedilum schoseri, Paphiopedilum glauchaphyllum, Paphiopedilum richardiaum, dan Paphiopedilum Supardii. Anggrek Paphiopedilum masuk dalam daftar jenis kritis hingga rentan berdasarkan IUCN redlist,” ungkap Tirta.

Anggek kantong adalah spesies yang memiliki nilai komersial yang tinggi. “Beberapa spesies anggrek kantong mengalami ancaman kelestariannya karena aktivitas pengambilan di alam secara berlebihan dan konversi fungsi lahan, terutama untuk perkebunan. Oleh sebab itu ada pelarangan perdagangan Paphiopedilum yang dipanendari alam, sehingga menjadi alasan dimasukkannya genus ini ke Appendix I daftar CITES (Conservation on International Trade for Endangered Species),” ungkap Tirta.

Mendukung apa yang disampaikan oleh Tirta, Ida Ayu Putri Darmawati, Dosen & Koordinator Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana menyatakan, bahwa anggrek kantong termasuk dalam kategori yang tidak boleh diperdagangkan. “Populasinya yang semakin menurun di alam disebabkan oleh beberapa hal, baik itu oleh alam maupun oleh faktor manusia. Seperti pengambilan secara berlebihan tanpa memperhatikan keberlanjutan dengan memanen sebanyak-banyaknya, tanpa meninggalkan sisa,” ujarnya.

Selanjutnya Darmawati menyatakan, ketika populasi anggrek mengalami penurunan yang signifikan di alam, masyarakat diharapkan peduli terhadap lingkungan untuk berperan dalam menjaga keberlangsungannya.

“Melalui plasma nutfah anggrek yang memiliki peran krusial dalam menciptakan bibit-bibit hibrida baru. Untuk keberlangsungan hidup anggrek yang terancam punah, diperlukan upaya konservasi. Salah satu pendekatan yang bisa diambil adalah melakukan konservasi secara ex-situ dengan memperbanyak jumlah anggrek-anggrek tersebut,” ungkap Darmawati.

Darmawati dalam paparannya menyatakan, perkecambahan biji secara asimbiotik menjadi salah satu langkah tepat untuk menyelamatkan anggrek Paphiopedilum javanicum danPaphiopedilum lowii dari ancaman kepunahan. “Perkecambahan dan perkembangan biji sangat dipengaruhi kematangan buah dan perlakuan awal pada saat akan kultur. Komposisi medium, kondisi kultur, dan metode kultur,” pungkasnya.

Sumber: https://www.brin.go.id/news/117228/atasi-kelangkaan-hingga-kepunahan-anggrek-perlu-tindakan-pencegahannya

Managed & Maintenanced by ArtonLabs