Belajar Menangani Hama Tikus Sawah dengan Benar

Belajar Menangani Hama Tikus Sawah dengan Benar

Tikus sawah sudah menjadi hama utama bagi tanaman padi karena dapat menimbulkan kerusakan di area pertanaman, termasuk area pertanaman program Riset Pengembangan Inovatif Kolaboratif (RPIK) lahan rawa di Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Kerusakan di kawasan tersebut masih terbilang ringan karena stadia tanaman yang bervariasi dan pemahaman petani dalam teknik pengendalian tikus terpadu masih terbilang kurang.

Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian (Balitbangan) melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) memberikan bimbingan teknis terkait pengendalian hama tikus sawah terpadu dan presisi kepada dua kelompok petani di Desa Belanti Siam.

Rachmawati, peneliti hama tikus yang menjadi narasumber dalam bimtek tersebut mengajak petani untuk bersama-sama melakukan fumigasi (pengemposan) lubang sarang.

Rachma menjelaskan cara pengemposan lubang tikus yang benar serta mengenalkan karakteristik dari lubang tikus. Teknik pengemposan yang benar dengan menggunakan belerang berhasil menangkap sepuluh ekor tikus jantan dan betina dari tujuh lubang tikus yang diempos.

Tikus-tikus sawah yang sudah didapatkan digunakan sebagai bahan belajar agar petani lebih mudah memahami proses reproduksi tikus sawah. Rachma menjelaskan, reproduksi merupakan faktor biologis yang penting dalam peningkatan populasi tikus sawah.

“Tikus betina siap kawin pada umur 30 hari dan tikus jantan baru siap kawin setelah berumur 60 hari. Periode bunting dan menyusui masing-masing selama 21 hari dan dapat kawin lagi 48 jam setelah melahirkan anak. Jumlah anak yang dilahirkan rata-rata 10 ekor setiap kelahiran dengan nisbah kelamin 1:1,” papar Rachma seperti dilansir dari laman litbang.pertanian.go.id.

Satu ekor tikus betina dapat melahirkan tiga kali lipat dan populasinya dapat meningkat jadi 80 ekor tikus dalam satu musim tanam padi. Dilansir dari naskah orasi Prof. Sudarmaji, waktu reproduksi tikus sawah berbarengan dengan buntingnya tanaman padi. Hal tersebut diduga karena tikus merespons terjadinya perubahan fenologi tanaman.

Pada pola tanam dua kali setahun akan terdapat dua kali puncak populasi tikus. Sementara itu, di daerah dengan pola tanam padi intensif dan waktu tanam tidak serempak, perkembangan populasi tikus cenderung selalu tinggi dan tidak beraturan.

Oleh karena itu, Rachma menekankan bahwa salah satu pengendalian tikus yang harus dilakukan adalah penanaman secara serentak dalam skala luas untuk menurunkan populasi tikus dengan signifikan.

Sumber: https://www.litbang.pertanian.go.id/ dan https://www.pertanianku.com/

Managed & Maintenanced by ArtonLabs