Hadapi Perubahan Iklim, Balitbangtan Rumuskan Sistem Peringatan Dini Pertanian

Hadapi Perubahan Iklim, Balitbangtan Rumuskan Sistem Peringatan Dini Pertanian

Perubahan iklim dan bencana alam masih menjadi ancaman dunia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) bersama beberapa kementerian/lembaga bersinergi untuk menyusun rumusan sistem peringatan dini dan strategi adaptasi-mitigasi bencana dan perubahan iklim untuk sektor pertanian dalam rapat koordinasi teknis yang digelar pada Kamis (24/3) di Aloft Hotels, Cilandak Timur, Jakarta Selatan.

Plt. Kepala Balitbangtan Prof. (R). Fadjry Djufry menjelaskan bahwa pembangunan pertanian ke depan diproyeksikan untuk tahan iklim dan rendah karbon. Ini senada dengan pesan yang selalu digaungkan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengenai urgensi penanganan dampak perubahan iklim dan bencana.

“Pembangunan pertanian berketahanan iklim dan rendah karbon untuk meningkatkan resiliensi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ini perlu sistem informasi peringatan dini yang lebih memadai dan komprehensif,” ucap Fadjry.

Sejauh ini, Balitbangtan telah mengembangkan Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (Katam) yang memuat Peta Rawan Banjir, Peta Rawan Kekeringan, Peta Kerusakan Tanaman Padi-Jagung-Kedelai, dan Peta dan Data Endemic (serangan OPT). Sistem informasi ini perlu ditingkatkan dalam skala besar untuk tujuan operasional maupun aksi adaptasi dan mitigasi di dunia pertanian.

Integrated early warning system (EWS) atau sistem peringatan dini terintegrasi yang melibatkan kolaborasi kementerian/lembaga dan stakeholder menjadi salah satu jawabannya.

“Sinkronisasi dan kolaborasi menjadi signifikan untuk dilaksanakan. Mulai dari identifikasi data detail di lapang, analisis secara kontinyu, hingga peningkatan kapasitas,” papar Sekretaris Balitbangtan Dr. Haris Syahbuddin.

Dalam rumusan sistem peringatan dini dan strategi adaptasi bencana dan perubahan iklim yang disusun, data dari kementerian/lembaga lain dapat dioptimalkan. Antara lain data spatio-temporal dari Badan Nasional Pencegahan Bencana (BNPB), informasi kebakaran hutan dan lahan pertanian dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, info prakiraan musim, banjir, dan kekeringan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), informasi air permukaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan lainnya.

Informasi tersebut berkontribusi kepada strategi adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Misalnya, aktivitas adaptasi perubahan iklim dilakukan oleh Kementerian Pertanian, sementara itu tahap pengurangan risiko dengan peningkatan sarana-prasarana meminimalisasi bencana dilakukan oleh BNPB dengan peta bencana berskala 1:5.000 skala desa.

“Jadi aspek hazard (bahaya), kapasitas, dan peta kerentanan dari BNPB ada di big data itu. Ini bisa diintegrasikan oleh K/L, jadi tidak hanya menggabungkan database yang ada tetapi bagaimana data memberikan manfaat bagi sektor-sektor lain,” jelas Ir. Afrial Rosya, Direktur Peringatan Dini BNPB.

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Ir. Dodo Gunawan mengungkapkan sistem peringatan dini perlu diiringi dengan aksi bersama lintas sektor. “Sehebat-hebatnya early warning harus diikuti dengan early action, pencegahannya. Sehingga kami dari hulunya menyiapkan informasinya, tinggal nanti early actionnya semua unsur itu,” ungkapnya.

Selain itu, program-program adaptasi dan mitigasi yang telah dilakukan oleh Balitbangtan juga akan terus ditingkatkan. Berbagai programnya antara lain perakitan dan penggunaan varietas toleran salinitas, kekeringan, dan genangan, implementasi pemupukan berimbang, perbaikan kualitas pakan ternak, penerapan konservasi tanah dan air, pengurangan kedalaman drainase lahan gambut, dan lainnya.

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Mentan SYL selalu mengingatkan upaya penanganan dampak perubahan iklim. Bappenas bahkan memprediksi selama periode 2020-2024, perubahan iklim berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi negara hingga Rp544 triliun dan kerugian sektor pertanian berkisar Rp78 triliun jika tidak ada intervensi kebijakan.

“Masalah climate change dan pemanasan global membuat semuanya tidak baik-baik saja. Gunung es yang mencair di mana-mana membuat air laut naik ke permukaan. Intrusi air laut itu masuk sampai 40 km. Persoalan makanan menjadi serius untuk dipikirkan bersama,” ucapnya.

Sumber: https://www.litbang.pertanian.go.id/info-aktual/4417/

Managed & Maintenanced by ArtonLabs