Atasi Permasalahan Produksi dan Pembenihan Bawang Merah, BRIN Kembangkan Teknologi TSS

Atasi Permasalahan Produksi dan Pembenihan Bawang Merah, BRIN Kembangkan Teknologi TSS

Bawang merah merupakan komoditas sayuran bernilai strategis ekonomi tinggi di Indonesia, fungsinya sebagai bumbu masak utama tidak dapat disubstitusi sehingga ketersediaannya sepanjang tahun dengan harga terjangkau sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya inflasi. Bawang merah juga merupakan komoditas hortikultura pengungkit perekonomian masyarakat tidak hanya di daerah sentra seperti di Brebes namun juga secara nasional. 

Hal tersebut dituturkan Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) BRIN, Puji Lestari pada saat memberikan sambutan pada acara HortiEs Talk #1 bertajuk Teknologi TSS (True Seed of Shallot) Menjawab Masalah Produksi dan Pembenihan Bawang Merah Nasional, pada Rabu (08/3).

“Fluktuasi harga bawang merah dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional, namun demikian budidaya bawang merah yang selama ini dilakukan secara intensif dan telah berkembang pada 32 propinsi di seluruh Indonesia belum dapat menjamin kontinuitas produk sehingga sering terjadi kurangnya pasokan pada off season. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir kisaran produktivitas bawang merah nasional berada pada kisaran 8,5 sampai 10,5 ton per hektar. Ini merupakan indikasi stagnasi produk komoditas,” kata Puji.

Dia menjelaskan, mengingat pentingnya bawang merah bersama bawang putih, BRIN sudah menyiapkan policy brief khususnya kesesuaian lahan atau agro ekosistem untuk mendongkrak kearah produktivitasnya dan bisa menjadi salah satu usaha memberikan rekomendasi nasional bagian aklarasi riset inovasi. Tahun 2023-2024 outputnya adalah rekomendasi kebijakan.

Terkait agro ekosistem, kendala bawang merah adalah ketersediaan benih bermutu, dalam hal ini kegunaan biji botani (TSS) merupakan salah satu alternatif yang dikembangkan. Hal ini disebabkan benih TSS memiliki beberapa kelebihan dibandingkan benih umbi.  

“Kita berharap bahwa sharing informasi tentang inovasi teknologi produksi biji botani bawang merah dan teknologi budidaya bawang merah dari biji botani (TSS) dapat bermanfaat tidak hanya bagi sivitas BRIN, namun nonBRIN,” ungkapnya.

Sementara, Kepala PRHP BRIN Dwinita Wikan Utami, dalam sambutannya mengatakan bahwa bawang merah merupakan komoditas holtikultura prioritas nasional karena secara faktual data harganya dan ketersediaan produksinya masih menjadi catatan di tingkat nasional, sehingga peningkatan produktivitas masih menjadi target nasional antara lain kendalanya adalah ketersediaan benih bermutu bebas pathogen dan berdaya saing tinggi.

Menurut Dwinta,salah satu terobosan perbaikan mutu benih bawang merah di tingkat petani adalah dengan penggunaan TSS yang inovasi teknologinya terus dilakukan. “Harapannya sharring session ini dapat membawa manfaat untuk kita semua, khususnya pengembangan komuditas bawang merah nasional,” ujar Dwinita

Pada kesempatan yang sama, Peneliti PRHP Paulina Evy Retnaning Prahardini menyampaikan, bahwa bawang merah merupakan salah satu kebutuhan konsumsi yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. “Kita mengetahui konsumsi rumah tangga seperti makanan, perhotelan dll berbahan baku bawang merah yang tidak bisa digantikan oleh komuditas yang lain. Hal ini membawa konsekuensi bahwa perluasan lahan harus kita tingkatkan, efisiensi produksi kita perlukan dan peningkatan efektivitas bawang merah harus kita peroleh,” paparnya.

Dia menjelaskan, bahwa bawang merah (Allium Cepa L. Aggregatum) umumnya diperbanyak dengan menggunakan benih vegetative yaitu berupa umbi, dimana benih umbi tidak dapat disimpan lama dan ketersediaanya terbatas, sehingga mengakibatkan fluktuasi harga yang sangat tinggi. Saat ini benih bermutu sedia 20% dari kebutuhan data dari BPS Tahun 2022, sehingga pemenuhan benih menggunakan umbi konsumsi dan impor.

“Kelebihan menggunakan inovasi teknologi produksi biji botani/TSS (True Seed of Shallot) yaitu pertama, berpotensial untuk memecahkan masalah perbenihan bawang merah. Kedua, dengan beberapa metode yaitu perbanyakan kita lakukan secara masal yaitu sepanjang tahun. Ketiga   kalau tadi benih berbanding 1: 10 tetapi dengan menggunakan TSS nisbah perbanyakan tinggi 1:200-300. Keempat, perlu penangkar yang khusus. Kelima, waktu produksi lebih lama 4-5 bulan. Keenam, hasil panen diatas bisa memanen berupa biji diawali pembentukan bunga, kapsul disamping itu dibawah tanaman bisa memanen benih berupa umbi,” jelasnya.

Peneliti PRHP lainnya, Retno Pangestuti mengatakan bahwa pengembangan bawang merah mengalami kendala yang dihadapi adalah kurangnya ketersediaan benih mutu data pada Tahun 2021 dan data tahun-tahun sebelumnya selalu terjadi kelangkaan dimana ketersediaan benih bermutu hanya 20% setiap tahun.

“Petani mengatasi kekurangan benih dengan menggunakan umbi konsumsi yang dihasilkan sendiri maupun dibeli dari daerah lain. Umbi konsumsi adalah umbi yang sejak awal ditanam untuk tujuan konsumsi bukan khusus untuk umbi benih, untuk mencukupi kebutuhan benih kemudian petani melakukan seleksi umbi yang dapat digunakan sebagai umbi benih lagi pada musim tanam berikutnya.  Umbi ini, karena sejak awal tidak dikhususkan sebagai benih, maka seringkali ada standar-standar mutu yang terlewat. Selain itu, pemenuhan kebutuhan benih dipenuhi melalui impor benih.  Salah satu solusi penyediaan benih bermutu yaitu menggunakan benih biji bawang merah (TSS),” imbuhnya.

Untuk menghindari keengganan petani menggunakan TSS karena umur panennya yang lebih panjang dari benih umbi, maka direkomendasikan melakukan teknik transplanting/pindah tanam, jadi yang ditanam di lahan dalam bentuk semaian berumur 30-42 hari. Dengan teknik ini, petani mendapatkan bahan tanam berkualitas dengan umur panen 55-60 hari di lahan, tidak berbeda dengan umur panen dari benih umbi. Beberapa inovasi teknologi persemaian sesuai kondisi agro ekosistem setempat dipaparkan secara detail sebagai alternatif yang dapat dipilih.

Hal yang sama dikatakan Tri Sudaryono Peneliti PRHP, aspek ekonomi budidaya bawang merah menggunakan TSS maupun umbi. Saya kira sangat menarik dari dua musim berturut-turut TSS rasio lebih tinggi dibandingkan dengan umbi.

Teknologi TSS adalah jawaban untuk mengatasi persoalan yang ada di bawang merah dan sekaligus bisa kita gunakan sebagai strategi tidak hanya untuk peningkatan kontinuitas produksi, tetapi dalam rangka kita memperoleh efisiensi didalam budidaya bawang merah dengan biji.

Tri Sudaryono juga menginformasikan bahwa air kelapa muda dapat digunakan sebagai zat pengatur tumbuh alami untuk meningkatkan pertumbuhan dan pembentukan anakan pada tanaman bawang merah asal TSS sehingga dapat meningkatkan hasil dengan bahan alami yang murah dan mudah ditemukan. Hasil ini menghasilkan teknik budidaya lebih efisien dan efektif serta meningkatkan keuntungan bagi petani. “Satu tantangan kita suarakan terus sehingga, petani memiliki kemampuan untuk melakukan budidaya bawang merah dengan TSS,” pungkasnya.

Sumber: https://www.brin.go.id/news/111817/atasi-permasalahan-produksi-dan-pembenihan-bawang-merah-brin-kembangkan-teknologi-tss

Managed & Maintenanced by ArtonLabs