Balitbangtan Optimalkan Lahan Rawa dengan Teknologi Padi Apung

Balitbangtan Optimalkan Lahan Rawa dengan Teknologi Padi Apung

Umumnya para petani menanam padi di lahan sawah irigasi atau tadah hujan yang notabene adalah daratan atau bagian permukaan bumi yang tidak tertutupi oleh air sungai, danau atau pun rawa. Namun, perubahan iklim skala global telah berdampak terhadap pola curah hujan yang tidak menentu dan risiko banjir pada lahan sawah khususnya lahan pasang surut atau rawa.   Untuk itu, diperlukan inovasi budi daya padi sebagai upaya adaptasi terhadap resiko perubahan iklim, salah satunya yaitu padi apung.

Budi daya padi apung merupakan suatu teknik budi daya padi  memanfaatkan rakit sebagai media tanam. Teknik ini telah banyak diaplikasikan oleh petani sawah dengan risiko banjir. Akan tetapi, teknologi yang diaplikasikan masih tergolong tradisional, yaitu menggunakan rakit apung tidak tahan lama serta dosis dan teknik pemupukan yang belum optimal.

Pada tahun 2021, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) mulai mengembangkan model budi daya padi apung melalui kegiatan Riset Pengembangan Inovatif Kolaboratif (RPIK) di kolam Agro Edu Wisata IP2TP Sukamandi, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi). Kegiatan bertujuan untuk merancang model budidaya padi apung yang aplikatif dan menguntungkan sebagai teknologi alternatif pemanfaatan lahan rawa. Informasi yang diperoleh redaksi menyebutkan bahwa pada prinsipnya budi daya padi apung sama halnya dengan budi daya padi sawah pada umumnya. Yang membedakan adalah implementasi budi daya padi apung dilakukan pada lahan tergenang.

Pada kegiatan ini, lima model rakit diuji coba di lokasi yaitu: 1) Model rakit konvensional (MR1). Model ini merujuk pada metode padi apung yang telah berkembang di Pangandaran, Jawa Barat. Bahan rakit yang dipergunakan terbuat dari bambu. Bagian tengah rakit menggunakan bambu yang dibelah dua dan disusun seperti pagar yang kemudian diisi dengan menggunakan limbah jerami dan sabut kelapa yang dicampur dengan kompos organik, sedangkan bagian atas rakit ditutup dengan jaring; 2) Model rakit apung termodifikasi (MR2). Model rakit ini sama halnya pada model rakit pertama tetapi dengan modifikasi rakit apung yang digunakan yaitu menggunakan pipa PVC 4 inch. Untuk menahan media tanam agar tidak jatuh ke air maka bagian dasar rakit dilapisi dengan bilik bambu. Media tanam yang digunakan adalah tanah sawah yang dicampur dengan bahan organik. Pemupukan dan pemeliharaan lainnya sama halnya dengan MR2.

Model selanjutnya 3) Model rakit apung dengan sirkulasi hara tertutup (MR3). Rakit disusun dari pipa paralon (pvc) disusun sedemikian rupa sehingga membentuk rakit. Pipa yang digunakan berukuran 6 inch. Lubang tanam dibuat dengan melubangi pipa. Bibit ditanam dengan media air atau sama halnya dengan system hidroponik. Suplai hara menggunakan sistem hidroponik dengan hara yoshida ditambah dosis pupuk makro (N, P, dan K) sesuai rekomendasi PUTS. Sirkulasi hara tertutup artinya matode rakit ini tidak bersentuhan dengan air di dalam kolam sehingga murni sumber hara dri larutan yoshida dan dosis pemupukan N, P, dan K.

Model ke 4) model rakit apung dengan sirkulasi hara terbuka dan tambahan hara (MR4). Rakit disusun dari pipa paralon (pvc) disusun dengan jarak tertentu sehingga membentuk rakit. Bibit ditanam pada media rockwoll sebagai pegangan akar pada pertumbuhan awal yang diletakan pada netpot. Netpot disusun di sela-sela diantara pipa pelampung. Dengan sistem ini akar tanaman yang sudah tumbuh akan bersentuhan langsung dengan air kolam/air rawa. Untuk suplai hara diberikan tambahan pupuk makro NPK slow-release yang diletakan diatas netpot di sekitar bibit.

Model terakhir 5) model rakit apung dengan sirkulasi hara terbuka/ alami dengan menggunakan rakit Styrofoam (MR5). Model ini sama hal nya pada MR4 tetapi dangan menggunakan rakit dari bahan lembaran styrofoam (busa) yang dilubangi dan diset dengan bahan penjepit sederhana dari bahan bambu.

Adapun metode tanam padi yang dipergunakan pada budi daya padi apung sama halnya dengan budi daya di lahan sawah irigasi, yaitu: 1) tanaman bibit berumur 21 hari setelah semai (hss), 2) bibit ditanam satu atau dua bibit per lubang tanam dengan jarak 20 x 20 cm, 3) pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal, 4) penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan interval 10 hari, 5) menggunakan pupuk NPK dengan dosis rekomendasi setempat.

Sumber: https://www.litbang.pertanian.go.id/info-teknologi/4350/

Managed & Maintenanced by ArtonLabs