kisah sukses pengrajin Olahan Hasil Kedelai oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

kisah sukses pengrajin Olahan Hasil Kedelai oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

Jika ditanya tentang hasil olahan kedelai, yang pertama terlintas di benak kita, sebagian besar jawabannya adalah tempe dan tahu. Dua makanan ini sangat mudah kita jumpai pada menu sehari-hari, disukai berbagai kalangan baik muda maupun tua. Sumber protein nabati yang sangat potensial ini tentunya tidak terbatas menjadi tempe dan tahu saja.

Flyer Webinar Success Story Unit Pengolahan Hasil (UPH) Kedelai

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengangkat kisah sukses pengrajin kedelai dari berbagai wilayah melalui webinar “Success Story Unit Pengelolaan Hasil (UPH) Kedelai” pada 19 Januari 2022.

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) selaku instansi yang memiliki tugas pokok dan fungsi menderaskan inovasi dan teknologi aneka kacang dan umbi turut serta memberikan informasi terkait kedelai. Ir. Erliana Ginting, M.Sc., Peneliti Ahli Utama Balitkabi menjadi salah satu narasumber, menyampaikan materi dengan judul Varietas Unggul dan Aneka Olahan Kedelai.

“Di antara aneka kacang lain, kedelai mengandung protein paling tinggi, yaitu 38%, dan merupakan sumber protein kedua setelah beras” ungkap Erliana. Harganya lebih murah dibandingkan sumber protein hewani, sehingga terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Protein pada kedelai bermanfaat untuk menurunkan kolesterol dan tekanan darah, sehingga sangat baik untuk menjaga kesehatan jantung. Dari beberapa olahan kedelai, tempe memiliki kandungan protein paling tinggi, yaitu 18,3%, sedangkan tahu dan susu kedelai masing-masing 7,9% dan 2,8%.

Tingginya tingkat konsumsi, sementara produksi dalam negeri belum mencukupi, mengkibatkan pemerintah mengimpor kedelai dari luar negeri. Pengrajin lebih memilih kedelai impor karena lebih mudah ditemukan di pasaran.

Ir. Erliana Ginting, M.Sc., Peneliti Ahli Utama Balitkabi memaparkan materi webinar

“Kedelai lokal kita ini sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan kedelai impor, tetapi kenapa pengrajin lebih memilih kedelai impor?” tutur Erliana. Salah satu sebabnya adalah karena dalam melaksanakan bisnisnya, ketersediaan stok adalah salah satu poin penting. Kedelai impor yang mudah didapatkan serta sudah siap diolah menjadikan pelaku usaha lebih condong memilih kedelai impor.

“Kami sebenarnya sangat senang dengan kedelai lokal. Kalau diolah menjadi tahu tempe dan susu rasanya lebih gurih, selain itu tekstur tahu yang dihasilkan juga lebih halus” tutur Subiyati, pelaku usaha tahu Bandungan yang berlokasi di Semarang. Sebagai pelaku usaha, Subiyati memerlukan stok kedelai yang selalu ada.

Beliau berharap petani optimal dalam memproduksi kedelai, sehingga selalu ada di pasaran. “Mahal tidak masalah bagi kami, karena kualitas yang berbicara” tegas Subiyati.

Berbeda dengan Subiyati, di tangan Iwan Gunawan, SIP., kedelai diolah menjadi dodol. Semenjak kunjungan TV AL Jazeera ke Dodol Kaleci milik Iwan Gunawan di Kuningan, Jawa Barat, pesanan olahan kedelai miliknya makin banyak. Selain dodol, Iwan juga memproduksi pukis, nugget, nastar, keripik tempe, dan susu kedelai.

“Konsep kami mirip seperti Rumah Kedelai di Grobogan. Usaha kami mendorong petani untuk menanam kedelai, menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, sehingga diharapkan akan menjadi profit center di Cibulan” tutur Iwan.
Setelah dari Jawa Tengah dan Jawa Barat, tak ketinggalan Jawa Timur dengan Kecap Jawa-nya. Dwi Prihartono, pelaku usaha kecap berbahan dasar kedelai lokal juga menceritakan pengalamannya.

“Kami ingin mengangkat nama kedelai lokal, bahwa kita tidak kalah saing dengan kedelai impor, atau justru malah lebih bagus” tutur Dwi. Semenjak tahun 2016 Dwi merintis usaha kecapnya menggunakan kedelai hitam varietas Detam, salah satu VUB kedelai hitam yang dilepas oleh Badan Litbang Pertanian.

Usaha yang dirintis dari rumah dengan alat yang didesain sendiri nyatanya bisa menghasilkan kecap 100 lt/ha, dengan tenaga masyarakat sekitar. “Prinsip kami adalah, produk yang keluar ke pasaran sehat dan aman dikonsumsi oleh segala usia, karena kami hanya menggunakan bahan-bahan pilihan”, pungkas Dwi.

Para narasumber webinar Success Story Unit Pengolahan Hasil (UPH) Kedelai

Branding kedelai lokal ini tentu perlu digenjot lagi, agar supaya lebih banyak orang mengetahui keunggulannya. Erliana menyampaikan bahwa sosialisasi varietas-varietas unggul baru kedelai perlu dilaksanakan agar pelaku usaha mengetahui bahwa selain Anjasmoro dan Grobogan, masih banyak VUB kedelai lain yang sangat potensial untuk diolah menjadi bahan makanan.

“Pendampingan higienitas dan sanitasi perlu dilakukan oleh instansi atau lembaga yang berwenang, sehingga nantinya produk olahan kedelai bisa menembus pasar dalam dan luar yang lebih luas” tutur Erliana.

Subiyati juga berharap, grading dan perawatan pasca panen kedelai perlu dijadikan perhatian oleh petani lokal, sehingga tidak kalah dengan kedelai impor, serta kontinuitas stoknya harus dimaksimalkan.

Kedepan, semoga semakin banyak variasi produk olahan kedelai lokal yang dikenal masyarakat serta kualitasnya tidak kalah, sehingga bisa menembus pasar internasional.

Sumber: https://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/berita/success-story-olahan-hasil-kedelai/

Managed & Maintenanced by ArtonLabs