Papuasia sebagai salah satu kawasan tropis Indonesia yang terletak di bagian Barat Pulau New Guinea memiliki keragaman flora tertinggi di dunia. Berdasarkan data Camara-Leret (2020), kawasan yang kerap disebut Tanah Papua itu memiliki kekayaan flora sekitar 13.634 spesies.
Kekayaan flora yang luar biasa dengan tingkat endemisitas yang tinggi merupakan tantangan sekaligus peluang dalam mengonservasi serta pengembangan risetnya. Apalagi, sebagian besar masyarakat lokal Papua yang kehidupannya masih sangat bergantung pada alam, keberadaan beragam spesies tumbuhan jangan sampai punah sebelum diketahui jenis dan manfaatnya.
Demikian disampaikan Ketua Kelompok Riset Konservasi Flora Australasia, Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan (PR KTKRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pudja Mardi Utomo, pada Garden Talk ke-11, secara daring, Selasa (8/8).
“Tingginya keragaman flora di Papuasia disebabkan sejarah geologi pembentukan Pulau Papua yang rumit,” ungkap Peneliti PR KTKRK BRIN Krisma Lekitoo.
Dia merinci, jumlah lempengan tektonik di Pulau Papua (New Guinea) sebanyak 32 lempengan, di mana setiap lempengan memiliki karakteristik khusus yang memengaruhi jenis flora yang tumbuh di atasnya. Tingginya keragaman flora dibarengi dengan tingkat endemisitas tinggi pula, yaitu 1.030 spesies atau sekitar 68 persen.
Berikutnya, pria kelahiran Wasior, Papua Barat, 47 tahun lalu ini memaparkan data inventarisasi serta pemanfaatan flora secara tradisional turun-temurun oleh 276 suku di Papua, melalui kajian etnobotani di beberapa wilayah.
“Tercatat 225 jenis untuk bahan pangan, 115 jenis untuk ritual dan magis, 39 jenis bahan pembuat perahu, 25 jenis untuk obat malaria, dan 57 jenis sebagai bahan obat diare,” paparnya. Namun dia menyayangkan informasi berharga ini belum menjadi perhatian serius Pemerintah.
“Perlu upaya segera penyelamatan flora Papuasia melalui konservasi in-situ atau ek-situ sebelum terlambat. Saat ini IUCN sudah mencatat ada sedikitnya 470 jenis flora terancam kepunahan dan satu spesies dinyatakan punah, yaitu Manilkara napali van Royen,” tambahnya.
Saat ini, kata dia, sudah ada beberapa kebun raya dan arboretum di Papua. Namun masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan jumlah yang harus dikonservasi.
Sejalan dengan apa yang dilakukan Krisma, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Papua Agustinus Murdjoko mencatat, masih terbatasnya spesimen herbarium yang berasal dari kawasan Papuasia.
“Koleksi herbarium kami masih terbatas jika dibandingkan daerah lain di Indonesia. Padahal, keragaman floranya sangat tinggi”, ungkap Murdjoko.
Dia menyebutkan, beberapa kondisi yang menjadi tantangannya bersama tim, seperti aksesibilitas dan biaya ekspedisi yang terbatas, jumlah dan kualitas peneliti yang masih sedikit, terutama para taksonom. Dia berharap, dapat meningkatkan kerja sama dengan BRIN dan stakeholder lainnya.
Di sisi lain, Murdjoko melihat peluang untuk tetap melakukan penelitian lapangan dan pengumpulan data, untuk menghasilkan publikasi internasional. Kemajuan teknologi informasi sangat mendukung upaya pengumpulan data dan kajian potensi flora Papuasia.
“Kami dapat terkoneksi dengan komunitas global, sehingga kekayaan flora kita dapat diketahui dan menjadi potensi kerja sama dengan berbagai pihak di dunia,” pungkasnya optimis.